JAKARTA– Kementerian Sosial RI melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak menggelar Webinar dan Bimbingan Teknis Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH).

Digelar Senin (21/9/2020) dilanjutkan dengan Bimbingan Teknis yang dimulai 22 hingga 24 September 2020 yang diikuti 300 perserta, 125 dari perwakilan Dinas Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota, 175 Pekerja Sosial/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS)/ Pendamping/ Pengurus Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Termasuk, Rumah Perlindungan Sosial (RPS)/Program Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan dengan Hukum Berbasis Masyarakat (PRSABHBM) dan Pekerja Sosial Balai/Loka Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (Balai/Loka RSAMPK). Webinar disiarkan secara live melalui youtube Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial.

Dua kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya Kemensos untuk meningkatkan kapasitas penanganan, pendampingan dan pelayanan rehabilitasi sosial ABH yang bertujuan meningkatkan kembali fungsi sosial ABH sesuai perannya sebagai individu yang menjadi bagian dari keluarga serta masyarakat.

Menghadirkan narasumber, yaitu Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, dengan materi “Kebijakan dan Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI) Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH).”

Guru Besar Universitas Indonesia (Pemerhati Anak) Prof. Harkristuti Harkrisnowo tema ‘’Implementasi Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Mandat Kementerian Sosial dalam UU SPPA’’ dan Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kanya Eka Santi, “Kebijakan Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak terkait Anak Berhadapan dengan Hukum.’’

Kegiatan dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman terkait amanat Undang-Undang SPPA Nomor 11 Tahun 2012 dan peran Pemda dalam penanganan ABH. Memperkuat pemahaman tentang Asistensi Rehabilitasi Sosial Anak, meningkatkan kapasitas SDM rehabilitasi sosial ABH dalam mengimplementasikan manajemen kasus, pengetahuan dan penerapan kode etik perlindungan anak serta tata cara bekerja dengan anak.

Kemensos dalam pemenuhan mandat UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 tahun 2012 telah melaksanakan penyempurnaan regulasi terkait Rehabilitasi Sosial dan Reintegrasi Sosial ABH melalui NSPK dan Pedoman Rehabilitasi Sosial bagi ABH.

Untuk meningkatkan ketersediaan mitra ABH (LPKS, RPS dan PRSABHBM) melalui Surat Keputusan Menteri Sosial RI terkait Lembaga Mitra ABH serta meningkatkan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sesuai dengan kriteria pendamping bekerja dengan ABH.

Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Tahun 2020 terdapat 2791 kasus ABH. Bila disandingkan Data Respon Kasus yang dilaksanakan oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) per Juli-Agustus.

“Saya menilai ada kecenderungan mengalami peningkatan dan saat ini, tercatat 5364 ABH dan hal ini merupakan kasus terbanyak daripada kasus kategori Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) lainnya,” tandas Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Harry Hikmat.

Ke depan, visi transformasi rehabilitasi sosial adalah pelayanan sosial bukan lagi bantuan sosial, kendati dalam praktiknya saling menguatkan, sehingga perlu memprioritaskan ATENSI.

“Pada kasus ABH yang menjadi korban seringkali membutuhkan perawatan kesehatan, jadi dalam respon kasus harus dipastikan tidak mengalami kesulitan akses pelayanan kesehatan dasar,” ungkapnya.

Ditjen Rehsos menyiapkan Sentra Layanan Sosial (SERASI) sebagai bentuk pelayanan sosial yang terpadu dan berkelanjutan melalui aplikasi Centre Link.

Piloting one stop service di balai-balai rehsos milik Kemensos. Sebab, LPKS dan RPS bisa menjadi back office SERASI yang bisa memperluas jangkauan pelayanan yang komprehensif dan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam pelayanan sosial ABH.

“Memang dibutuhkan penguatan sistem rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Upaya ini diikuti dengan perluasan jangkauan rehabilitasi sosial berbasis keluarga, komunitas dan atau residensial,” tandas Harry.

Pentingnya penguatan kapasitas dan kelembagaan Balai Balai/Loka Rehsos termasuk LPKS dan RPS yang diikuti dengan upaya pencegahan secara masif dengan melibatkan pemda, masyarakat dan swasta yang terkait dalam pelayanan sosial.

Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo dalam kesempatan ini menjelaskan tentang Implementasi UU SPPA dan Mandat Kemensos. Sejak berlakunya UU SPPA telah terlihat meningkatnya koordinasi antar APH dan pihak terkait, peningkatan pemahaman APH tentang UU SPPA.

“Telah dilaksanakannya pelatihan terpadu SPPA antar APH dan pihak terkait serta adanya peningkatan kelembagaan. Saat ini, telah ada 362 pengadilan yang sudah memiliki ruang sidang anak dan 72 Balai Pemasyarakatan (Bapas) serta 197 Pos Bapas,” terang Harkristuti.

Terdapat tantangan saat ini, antara lain masih adanya perbedaan persepsi antar penegak hukum mengenai syarat diversi, putusan pengadilan yang belum menunjukkan pemahaman UU SPPA dan belum terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana, serta tantangan lainnya yang harus dipahami semua pihak terkait.

“Sesuai mandat Kemensos upaya yang dapat dilaksanakan adalah membangun Peksos Profesional dan TKS, membangun LPKS untuk ABH, bekerjasama dengan Kemenhukham dan APH serta koordinasi dengan pemda setemoat dalam pelaksanaan tugas,” imbuh Harkristuti.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak, Kanya Eka Santi menyampaikan bahwa Kemensos telah bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH)/Kementerian/Lembaga terkait dalam pelaksanaan penanganan, pelayanan dan pendampingan ABH mulai dari proses pra ajudikasi, ajudikasi sampai paska ajudikasi.

Dengan indikator keberhasilan atas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Kemensos berharap terwujudnya pelaksanaan atas perubahan paradigma penanganan ABH melalui pendekatan Restorative justice yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

“Adanya penanganan ABH secara holistik dan terintegratif (integrated Criminal Justice System) serta penanganan perkara ABH yang mengutamakan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif dalam setiap tahap peradilan anak,” tutur Kanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini