Perang Dagang Amerika Serikat Vs China, Local Currency Settlement (LCS) dan Dampaknya bagi Indonesia

0
892


(Suatu Studi Comparative Politic)

M. Sahrul Fikri Samson
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

Mediterania adalah masalalu, sementara Atlantik adalah masa kini yang akan berakhir dan pasifik adalah masa depan yang mulai menggeliat sekarang ini. –Syaiful Bahri Ruray

Barangkali kalimat di atas cukup mewakili realitas global kita saat ini, situasi yang entah membawa kita pada suatu kepastian akan kejayaan di masa mendatang ataukah justru terus tertinggal lebih jauh, Negara terbesar di kawasan pasifik yang tidak hanya kaya akan sumber daya alamnya namun juga kaya akan sejarah dan budaya.

Dunia mengenal Nusantara karena rempah-rempah, sejak periode Dinasti Tang (618-907M) di China, bahkan sebelum era kristus yang diperkuat oleh Bierley (1994) bahwa rempah-rempah sudah digunakan sebagai bahan pengawet jasad raja-raja Mesir Kuno, dibawa oleh para Pedagang China sampai ke daratan Eropa, “The Indonesian term for clove is cengkih, which is thought to originate from chinese tkeng-his, meaning ‘scented nails’ The spices resembelence to nails is notes in other languages also: clove are clou in French and nagel dutch” Demikian Bierley menulisnya. Bahkan lebih dari itu, dalam penggalian arkeologi di lembah eufrat hingga babilonia, ditemukan artefak cengkih Maluku pada era Mesopolitan lama. Ini membuktikan bahwa cengkih Maluku telah sampai di Mesopotamia pada 3000 SM. Nusantara sudah menjadi episentrum dunia semenjak ribuan tahun lalu, bangsa eropa silih berganti datang, dari semenjak Kapal Portugis pertama tiba di pantai Nusantara, hingga akhirnya negeri ini direbut dan dikuasai selama ratusan tahun oleh Belanda, demi mengusai dan mengekploitasi Sumber Daya Alam di Nusantara.

Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang dibacakan Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945, tidak sekonyong-konyong melepaskan Indonesia dari cengkraman imprealisme, perdagangan Bebas dan Globalisasi telah menjadi alat bagi para elit global untuk menancapkan hegemoninya di bidang Ekonomi, Politik dan Budaya terhadap Indonesia maupun bangsa lain. Tujuan hegemoni tersebut tidak lain ialah untuk menguasai Negara-negara yang mereka pandang penting bagi mereka. Penguasaan inilah yang sering disebut sebagai Imperialisme Modern (Neo Imperialisme).

Globalisasi telah mengakibatkan sekat antar Negara seolah hilang. Majunya perekonomian telah mendorong Negara-negara besar untuk lebih meningkatkan produktivitas mereka dengan mengembangkan Perdagangan Bebas. Negara-negara yang sedang berkembang pun turut ambil bagian dalam perdagangan bebas ini. Kondisi ini tentu akan meningkatkan persaingan antar Negara dalam hal Ekonomi. Negara-negara dengan Kekuatan Ekonomi yang kuat lah yang akan menentukan jalannya persaingan ini, Amerika Serikat dan China contohnya, sebagaimana yang disampaiakan Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah menilai gesekan kedua negara tersebut tentu berdampak negatif terhadap perekonomian global, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, perlambatan ekonomi global saat ini terjadi pun disebabkan perang dagang antara AS dan China. Ditambah lagi dengan adanya Pandemi Covid 19 yang melanda dunia saat ini semakin memperparah kondisi ekonomi yang menurutnya akan berujung pada resesi global.

Menurut Ruray (2019) Indonesia adalah salah satu negara terbesar yang berada di pasifik, kita tidak bisa menafikan bahwa pasifik dewasa ini tengah menjadi ajang percaturan global, hingga dapat dipastikan semua aktor besar dunia akan mengambil peran dikawasan ini. Bangkitnya raksasa Ekonomi China sebagai aktor utama di Asia Pasifik adalah fenomena yang tidak dapat kita pungkiri, Pasifik seakan kembali menjadi episentrum dunia seperti yang terjadi di masa lalu, sebagaimana menurut Kishore Mahbubani (2011) bahwa asia merupakan hemisphere baru dunia saat ini. Menurutnya, perkembangan ekonomi kawasan asia akan mengimbangi Eropa dan Amerika Utara 50 tahun kedepan. hal ini yang membuat Ruray berani mengambil kesimpulan bahwa Mediterania adalah masalalu, sementara Atlantik adalah masa kini yang akan berakhir dan pasifik adalah masa depan yang mulai menggeliat sekarang ini.

Pada pertengahan februari lalu negeri ini dibikin heboh dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat, sebab Indonesia dianggap telah maju dalam perdagangan internasional. Namun, apakah gelar ini menjadi kabar baik dan patut dibanggakan sebagai pencapaian, Piter Abdullah berpendapat bahwa status negara maju atau tidak sebenarnya tidak penting, yang pasti, akan ada beberapa hal yang akan membuat Indonesia lebih sulit bersaing di pasar Amerika Serikat karena pencabutan ini. Menurutnya, AS juga tidak bermaksud menyanjung (memberi gelar negara maju), tapi lebih ke pencabutan General System of Preference (GSP) yang sebenarnya masih kita butuhkan,” (Liputan6.com, Senin 24/02/2020).

Disisi lain indonesia perlu berhati-hati, sebab bisa jadi alasan utama Amerika mengambil tindakan tersebut karena hubungan Indonesia dan China yangkian hari kian lengket, yang memicu kecemburuan Amerika Serikat sehingga mendepak Indonesia dari daftar negara berkembang. Sebagaimana yang telah dilansir (Media CNBC Indonesia 20/10/2020), bahwa China dengan cepat menjadi negara kedua yang menjadi investor utama di Indonesia meskipun Singapura masih menjadi negara investor utama dengan total 6,4 Miliar USD, sedangkan China sendiri secara tiba-tiba meningkatkan investasinya sebesar 94% yaitu 4,7 Miliar USD dengan 2300 Proyek yang salah sastunya adalah proyek One Belt On Road (Obor). Hal ini membuat China telah menggeser Jepang sebagai Negara inverstor urutan kedua dengan 4,4 Miliar USD dan berkemungkinan menjadi negara investor urutan pertama di indonesia. Pergeseran ini merupakan hal yang fantastis karena pada 2019 lalu China masih menjadi negara ketiga investor utama di Indonesia.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa China sedang membuat Indonesia akan bergantung pada hutang dan investasi darinya, sehingga dapat dengan mudah mengontrol roda ekonomi, bahkan politik di Indonesia.
Hal ini dapat terlihat dari kesepakatan Indonesia dan China untuk meninggalkan dolar Amerika Serikat untuk pembayaran transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung (Local Currency Settlement/LCS). Dimana Bank Indonesia (BI) dan bank sentral China, People’s Bank of China (PBC) sepakat menggunakan mata uang lokal kedua negara, yakni yuan dan rupiah, kesepakatan itu dilangsungkan oleh Gubernur PBC Yi Gang dan Gubernur BI Perry Warjiyo melalui penandatanganan nota kesepahaman pada Rabu 30 September 2020. Selain itu pada 5 Maret 2019 lalu, Bank Indonesia (BI) menyatakan penerapan Local Currency Cettlement Framework (LCS). BI menggandeng Bank Negara Malaysia (BNM) dan Bank of Thailand (BOT) dan Bangko Central Ng Pilipinas untuk menerapkan LCS tersebut sebagai upaya kurangi penggunaan dolar Amerika Serikat, Penerapan kebijakan ini bertujuan untuk mendorong penyelesaian perdagangan bilateral dan investasi langsung dalam mata uang lokal. Hal itu mendorong penggunaan mata uang Rupiah, Ringgit, Baht dan Peso lebih luas dalam transaksi perdagangan dan investasi antara ketiga Negara. Pembentukan framework LCS itu merupakan langkah penting penguatan kerja sama keuangan antara BI, Bank of Thailand dan Bank Negara Malaysia, kesepakatan ini mendapat apresiasi dari banyak Kalangan, meskipun banyak juga yang menggap Indonesia belum siap dengan kesepakatan tersebut, sebab kebijakan ini akan bisa dikatakan efektif jika sebagian besar perdagangan bilateral dengan Thailand, Malaysia serta Filipina sudah menggunakan mata uang lokal. Namun, pencapaian butuh waktu. Pasalnya, pengusaha akan sangat hati-hati dalam mengkaji manfaat dan resiko dari kebijakan ini sebab kebanyakan Eksportir Indonesia dan Negara Asean lainnya masih menggunakan barang Impor dari Negara lain yang artinya masih membutuhkan Dolar Amerika Serikat.

Meskipun begitu Amerika Serikat perlahan mulai mencoba kembali menggoda Indonesia, pada 15 Oktober yang lalu, Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto sengaja diundang ke Amerika dalam hal kerja sama pertahanan dan mungkin lebih dari itu. langkah tersebut memberi gambaran bahwa Amerika sudah mulai khawatir akan kedekatan Indonesia dengan China, apalagi lebih diperkuat dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ke Indonesia pada 29 Oktober lalu, sebelum berkunjung ke Indonesia Mike Pompeo sempat berkunjung ke Srilanka didalam pidatonya dia menegaskan bahwa Partai Komunis China sangat Predatori dimana China bisa memberikan pinjaman pada negara tertentu lalu kemudiaan dia akan memakan negara yang diberikan pinjaman itu. Selain itu dalam kujungannya ke Indonesia pampeo menagaskan bahwa kunjunagan tersebut membahas mengenai visi bersama indopasifik yang bebas dan aktif dan juga kisruh wilayah di Laut China Selatan dari pembahasan tersebut dapat kita lihat bahwa Amerika mencoba menghalangi kekuatan China dikawasan Asia Pasifik.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa secara geografis Indonesia memiliki letak yang sangat strategis dengan Sumber Daya Alam yang melimpah, hal inilah yang membuat negara-negara lain ingin bekerja sama dalam hal menanam investasinya di negara ini tanpa terkecuali Amerika Serikat dan China yang kini sedang bergejolak antara satu dan lainnya. Dapat kita lihat sekarang ini bahwa Indonesia kian terjebak ke dalam pusaran gejolak perang dagang kedua negara tersebut, Indonesia seakan dipaksa untuk terkooptasi pada dua pilihan yang sama-sama menggiurkan namun mematikan. Sebab kedua-duanya memiliki dampak baik dan juga buruk untuk Indonesia, berdampak baik apabila Indonesia tetap menerapkan politik Bebas Aktif dimana tidak terlalu bergantung pada satu negara, sehingga Indonesia meraih keuntungan besar dan lebih leluasa dalam menajalankan Politik Luar Negerinya sehingga Stabilitas Ekonomi dan dapat dapat dikontrol oleh Negara tanpa ada campur tangan Negara lain. Sedangkan akan berdampak buruk jika Indonesia menggantungkan Investasinya pada salah satu Negara dalam hal ini Amerika Serikat maupun China, maka mau tidak mau Negara ini akan terus dikontrol ekonominya oleh mereka sehingga mereka dengan mudah mengeksploitasi Suber Daya Alam Maupun Manusianya. Lantas apa yang harus Indonesia lakukan?

Jika dilahat dalam perspektif regulasi perundang-ungdangan di Indonesia, Politik Luar Negeri harus mempunyai prinsip bebas aktif, yang mengharuskan Indonesia untuk tidak bergantung secara Ekonomi maupun Politik kepada salah satu negara, selain itu dalam menjalin hubungan dengan negara lain, baik itu Bilateral maupun Multibirateral harus berdasarkan pada kepentingan nasional dan kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD Tahun 1945. Maka dari itu Indonesia harus berpegang teguh pada prinsip tersebut, jangan sampai Indonesia tergiur oleh investasi asing yang mungkin saja punya Hidden agenda, hingga akhirnya hanya akan dinikmati oleh segelintir Oligarki.

Selain itu kualitas dan kecerdasan seorang pemipinlah yang dapat menentukan nasib Negara dan Bangsa ini akan dibawa kemana, sebagai pengambil keputusan tertinggi, Presiden harus berpikir secara teliti, dan berhati-hati dalam keadaan yang dilematis. Sebab salah langkah berarti salah strategi, jika salah strategi berarti salah konsep, jika konsep juga salah maka siapa salah? Tentu saya tidak berani menyalahkan presiden, karena “The King can do no wrong”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini