Catatan Perjalanan Egy Massadiah

Kami saling melirik, saat Doni Monardo –kembali—berbicara soal vetiver dan pohon palaka. Setidaknya, sudah lebih tujuh bulan (sejak intensif mengendalikan Covid-19), Doni Monardo fokus berbicara tentang covid dan covid.

Bermula dari rapat koordinasi pengendalian Covid-19 di aula Mapalus Kantor Gubernur Sulawesi Utara, Rabu (7/10/2020). Tiba satu kesempatan, Doni memberi waktu kepada ahli tsunami dan gempa BNPB, Dr Abdul Muhari, PhD, untuk mengintermezo dengan paparan pendek tentang ancaman bencana alam yang sewaktu-waktu bisa melanda Sulut.

Tak kurang dari Pjs Gubernur Sulawesi Utara, Dr Drs Agus Fatoni, MSi antusias mendengar paparan Abdul Muhari. Pria yang akrab disapa Aam itu menyajikan data lawas, ihwal gempa dan tsunami berulang yang pernah menimpa daerah Sulawesi Utara.

Data otentik hasil penelusuran tim BNPB menyebutkan bahwa setidaknya pernah terjadi lima kali gempa besar dalam kurun waktu sangat singkat yakni 15 tahun yang melanda daerah yang dijuluki “Nyiur Melambai” itu.

Kelima peristiwa itu terjadi tahun: 1845, 1846, 1856, 1858, dan 1859. “Data itu diperoleh saat tim ke Belanda menelusuri jejak-jejak kebencanaan masa lalu, akhir Mei 2019. Yang ingin saya tegaskan adalah, bahwa bencana alam itu sesuatu yang berulang. Hanya saja, kita tidak tahu kapan peristiwa itu akan terjadi. Karenanya, kita harus selalu waspada,” ujar Doni Monardo, melengkapi paparan Aam.

Sulawesi Utara adalah salah satu daerah rawan gempa bumi dan tsunami. Sebab, ada tiga megathrust yang melingkarinya. Ketiga megathrust itu adalah megathrust Sulawesi, megathrust Sangihe, dan megathrust Halmahera.

“Thrust” merujuk pada salah satu mekanisme gerak lempeng yang menimbulkan gempa dan memicu tsunami, yaitu gerak sesar naik. Dengan demikian, megathrust bisa diartikan gerak sesar naik yang besar.

Mekanisme gempa itu bisa terjadi di pertemuan lempeng benua. Dalam geologi tektonik, wilayah pertemuan dua lempeng ini disebut zona subduksi. Zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudera bergerak ke bawah menghunjam lempeng benua sehingga terjadi kuncian-kuncian yang menyimpan energi yang pada saatnya akan lepas dan menimbulkan gempa bumi yang bisa disertai tsunami.

Untuk itulah, peringatan dini serta gerakan mitigasi kebencanaan tidak boleh berhenti. “Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana, harus selalu diberi pemahaman sekaligus langkah konkret. Selain itu, harus dilakukan langkah-langkah mitigasi atau pencegahan. Salah satunya adalah membangun green belt atau hutan pantai dengan jenis tanaman tertentu, untuk bisa menahan tsunami,” ujar Doni Monardo.

Data menyebutkan, jika tsunami terjadi dengan ketinggian sekitar lima meter, maka hutan pantai (green belt) dengan lebar minimal 150 meter akan mampu mereduksi dampak kerusakan hingga 82 persen. Gempa dan tsunami hebat di Aceh (2004), Lombok (2018), Palu (2018) telah memberi pelajaran berharga kepada kita semua.

Sama seperti Sulawesi Utara, jejak-jejak bencana serupa juga pernah terjadi ratusan tahun lalu, di tempat berbagai wilayah. “Jangan pernah terlena, karena gempa dan tsunami selalu datang tanpa permisi dan pemberitahuan. Dengan kata lain, bencana itu pasti akan terjadi (lagi), tapi kapan waktunya, tidak ada satu pun manusia yang tahu. Melakukan langkah pencegahan dan senantias siaga, adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan,” papar Doni.

Jika Doni mengingatkan ihwal ancaman gempa dan tsunami, sama sekali bukan untuk tujuan menakut-nakuti, apalagi “teror psikis”. Sebab, seperti berulang dia kemukakan di banyak kesempatan, “Perang, belum tentu. Tetapi bencana berulang, pasti terjadi. Bukan untuk ditakuti, tetapi justru mengingatkan kita semua yang hidup di negara dengan letak geografis ring fire dan patahan-patahan dasar laut. Indonesia itu bisa diistilahkan supermarket bencana. Selain gempa dan tsunami, ada ancaman erupsi gunung berapi, banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Karenanya kita juga harus menjadi bangsa yang sadar bencana.”

Tak lupa Doni Monardo menyampaikan kisah menarik tentang ahli geologi dan kegempaan asal Amerika Serikat Prof Ron A Harris. Doni bertemu Prof Ron tahun 2019, tak lama setelah menjabat Kepala BNPB.

Yang menarik adalah, penelitian Prof Ron tahun 2002 terkait potensi gempa dan tsunami di wilayah Sumatera. Salah satu kalimat yang Doni ingat betul hingga hari ini adalah, “Seandainya pada tahun 2002 saya menyempatkan diri berkeliling Sumatera dan mengabarkan hasil penelitian itu, niscaya korban tsunami Aceh (tahun 2004) tidak akan sebesar itu.”

Seperti kita ketahui, tsunami di Aceh diakibatkan gempa dangkal di laut bermagnitudo 9,3, yang jaraknya sekitar 149 kilometer dari Meulaboh. Secara keseluruhan ada 14 negara yang terkena dampak tsunami dengan jumlah korban mencapai 230.000 jiwa. Adapun warga Aceh yang dilaporkan meninggal dan hilang tercatat 167.000 orang.

“Yang dikatakan Profesor Ron adalah tentang kewaspadaan. Tentang pentingnya mitigasi. Apalagi, saat itu kita semua asing dengan kata tsunami. Kalau saja Prof Ron tahun 2002 mensosialisasikan hasil penelitiannya, maka lebih banyak warga Sumatera, khususnya Aceh yang mengetahui apa itu tsunami dan bagaimana menyikapinya. Jadi masuk akal jika Prof Ron berkeyakinan, kalau sebelumnya ada langkah mitigasi, jumlah korban tidak akan sebesar itu. Sekali lagi, itulah pentingnya mitigasi kebencanaan,” tandas Don.

Lain gempa dan tsunami, lain pula banjir dan longsor. Wilayah Sulawesi Utara memiliki setidaknya enam kabupaten/kota yang rawan banjir dengan kelas bahaya kategori “tinggi”. Keenam daerah itu masing-masing: Bolaang Mongondow, Minahasa, Kepulauan Sangihe, Bolaang Mongondow Utara, Minahasa Tenggara, dan Kota Manado.

Tanggap akan kondisi itu, Doni Monardo menyatakan, “Saya akan memberi bibit vetiver untuk ditanam di daerah-daerah yang rawan longsor. Selain itu, saya juga akan sumbangkan lima-ribu bibit pohon langka palaka. Itu pohon langka sekali, Pak Gubernur tidak akan dapat di tempat lain, tapi tolong ditanam, dirawat jangan sampai mati. Kalau mati, saya denda satu juta per pohon yang mati,” kata Doni Monardo disusul tawa, sekaligus tepuk tangan hadirin.

Dua jenis tanaman (vetiver dan pohon palaka) sangat ampuh mencegah longsor. “Pohon ini (palaka) saya temukan di Seram, Maluku. Di sana ada palaka berusia ratusan tahun. Tingginya lebih dari 50 meter. Lingkar pangkal pohonnya seukuran tiga puluh prajurit bergandengan tangan. Kokoh di segala jenis tanah, berusia hingga ratusan tahun, dan sangat efektif mencegah longsor,” papar mantan Pangdam XVI/Pattimura (2015-2017) itu.

Tak hanya mencegah longsor, palaka juga termasuk jenis pohon yang mampu menahan gelombang tinggi tsunami, selain jenis pohon lain seperti mangrove, cemara udang, ketapang, dan beringin.

“Saya menargetkan menanam 40.000 pohon palaka di daerah-daerah rawan. Beberapa provinsi lain sudah saya janjikan bibit pohon langka ini. Sekarang saya tambah lagi untuk Sulawesi Utara,” kata Doni, lagi-lagi disambut tepuk tangan meriah hadirin.

Atas “anomali” Doni Monardo siang itu, saya bersama PLT Deputi 3 Dodi Ruswandi dan Koorspri Kolonel Czi Budi Irawan yang mengikuti rapat saling lempar pandang. Setengah berbisik, Dodi Ruswandi berujar “Point penting ini… setelah sekian lama tidak bicara pohon, di Manado pak Doni kembali ke khittah…. Khittah pohon….” Mendengar itu, kami semua tertawa. Tentu dengan tawa lirih.

Persepsi Keliru Covid-19

Memasuki bulan ketujuh pandemi Covid-19, Doni memprihatinkan masih besarnya angka masyarakat yang tidak percaya bakal terpapar virus corona. Menurut survei BPS, 17 dari 100 responden menyatakan “sangat tidak mungkin” dan “tidak mungkin” terinfeksi/tertular Covid-19.

Doni memaparkan pula data yang perlu dicermati. Bahwa persentase terbesar masyarakat yang tidak percaya bisa terpapar Covid-19 adalah Maluku (29,18 %) dan Sulawesi Utara (27,66%).

“Jadi, pak Gubernur, dan bapak-ibu sekalian, provinsi Anda ini menempati urutan kedua dalam hal jumlah masyarakat yang meyakini ‘sangat tidak mungkin’ dan ‘tidak mungkin” terpapar corona. Ini harus menjadi perhatian kita bersama,” tandas Doni.

Salah satu cara untuk mensosialisasikan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, adalah melalui peran media. Terutama media sosial, televisi, dan whatsapp. Sebab, berdasar survei, tiga jenis media itu yang paling besar menjadi sumber informasi masyarakat terkait Covid-19. Sisanya, baru media jenis yang lain.

Mengakhiri paparan, sebelum take off ke Biak Numfor, Papua, Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo mengajak masyarakat Sulawesi Utara untuk melaksanakan Iman – Aman – Imun.

Iman dalam arti rajin beribadah dan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Aman, dalam arti patuh dan taat melaksankan tiga kewajiban: Wajib pakai masker, wajib menjaga jarak/hindari kerumuman, dan wajib mencuci tangan pakai sabun. Sedangkan imun, dalam arti mengonsumsi makanan bergizi, menjaga hati tetap senang, rajin berolahraga dan tidur cukup.

Sebelum sampai di bandara Sam Ratulangi, 13 km dari pusat kota “Nyiur Melambai”, kami singgah di restoran Raja Oci di bilangan Pinaesaan, Kecamatan Wenang, Kota Manado. Di sini rombongan melahap sajian khas Manado.

Beberapa menu khas di sini adalah perkedel nike dan bakwan jagung yang lezat, garing, dan gurih. Di samping, menu ikan-ikanan yang fresh.. Juga ikan tude segar. Sop ikan, woku, kepiting soka, dan lain-lain.

Last but not least adalah sambal dabu-dabu. Sambalnya pedas dengan potongan tomat segar. Dimakan dengan ikan oci yang khas Manado rasanya berguling-guling di dalam mulut.

Setidaknya, kami semua merasa gembira, ditambah kenyang makanan bergisi. Itulah yang dibutuhkan untuk meningkatkan imun, terlebih ketika tengah melakukan serangkaian kunjungan kerja marathon Gorontalo – Manado – Biak Numfor, dan Bali.

Menjelang tengah malam, roda pesawat TNI AU menapak di Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Cita rasa kuliner Manado masih terasa lumer di lidah. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini