Wibisono, Pengamat Militer dan Pertahanan

TEROPONGKOTA.COM – JAKARTA, Pekan ini dihebohkan berita terkait dikementrian Pertahanan (Kemhan), aroma bau tak sedap dihembuskan oleh Mentri polhukam Mahhfud MD dalam konferensi persnya awal pekan tahun 2022 yang lalu, peristiwa kerugian negara ini di alami pada saat kementrian pertahanan diera Mentri jendral (purn) TNI Ryamizard Ryacudu pada periode tahun 2015-2016.

Bagaimana tanggapan pengamat militer dan pertahanan Wibisono terhadap kasus ini?, awak media menghubungi pengamat militer yang satu ini dengan beberapa ulasan yang menarik untuk kita simak

Menurut pengamat militer Wibisono menyatakan bahwa kejadian dikemhan ini sangat mengejutkan semua pihak, karena sejak jaman orde baru kementrian ini sangat sakral dan sakti, tidak pernah tersentuh masalah hukum, “maka dari itu saya sangat terkejut dan prihatin dengan kejadian yang menimpa Kemhan saat ini, karena dalam persoalan ini ada penyelamatan orbit menyangkut kedaulatan negara,” ujar Wibisono mengatakan ke awak media di Jakarta senen (17/01/2021).

Seperti diketahui, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran untuk pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur yang merugikan negara hampir Rp 1 triliun. Akhirnya Indonesia digugat oleh dua perusahaan Avanti dan Navayo karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai biaya sewa dalam kontrak.

Pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.

Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.

Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura Navatitanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo.

“Saya pelajari terkait kasus ini, ada persoalan yang lebih besar dari indikasi korupsinya, yaitu terkait penyelamatan orbit, karena ini menyangkut kedaulatan negara, kenapa sampai terjadi gagal bayar?, Inilah yang perlu diungkap?, Saya yakin kalo terkait korupsi individu tidak ada, karena pembayaran langsung ke pihak penyewa, tapi ada hal teknis lintas kementerian yang perlu di selidiki,” pungkas Wibisono

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini