TEROPONGKOTA.COM – Jakarta, 6/2/2023 – Pemilihan umum merupakan sebuah keniscayaan dalam Negara demokrasi, sebuah Negara tidak mungkin bisa disebut demokratis tanpa menerapkan sistem pemilu yang digelar secara rutin. Pemilu bukan hanya urusan memilih pemimpin dan wakil rakyat, lebih dari itu secara substansi pemilu diharapkan berkontribusi pada perbaikan nasib rakyat dalam Negara demokrasi. Demi mewujudkan tujuan ideal tersebut, maka semestinya pelaksannan pemilu tidak dilakukan secara serampangan. Belakangan ini kembali ramai perdebatan seputar tata cara pelaksanaan pemilu, apakah tetap menggunakan sistem proporsional terbuka sebagaimana yang berlangsung selama ini? Atau kembali ke sistem proporsional tertutup sebagaimana pernah dipraktikkan di masa lalu? Publik terbelah menggapai isu ini, parpol juga tidak satu suara dalam masalah ini.

Pada dasarnya, baik sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup masing-masing-masing memiliki akar sejarah dalam ruang ke-Indonesiaan kita. Pemilu pertama yang digelar pada pada 1955 menggunakan sistem proporsional tertutup yang hanya memilih partai saja, pemilu selanjutnya di era Soekarno tidak berlangsung karena presiden mengeluarkan dekrit dan lahirlah sistem demokrasi terpimpin. Ketika Soeharto berkuasa, semua pemilu di masa orde baru menerapkan sistem proporsional tertutup dimana masyarakat diarahkan hanya memilih parpol, tidak memilih calon anggota DPRD/DPR RI. Bahkan di masa itu pemilihan presiden tidak menggunakan mekanisme pemilihan langsung, tetapi dimilih oleh MPR. Setelah masuk era reformasi, ternyata pemilu pertama yang digelar 1999 masih menggunakan sistem proporsional tertutup, sistem proporsional terbuka dimulai di tahun 2004 kemudian berlanjut ke tahun 2009, 2014, dan 2019. Saat ini, bila melihat peraturan KPU untuk menghadapi pemilu 2024, landasannya masih menggunakan sistem proporsional terbuka.

Jika dikaji secara kritis, sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup keduanya memiliki kelebihan dan kekuranagn. Kelebihan sistem proporsional tertutup karena partai politik memiliki kewenangan yang lebih besar untuk memastikan bahwa masyarakat benar-benar memiliki keterkaitan yang kuat dengan partai politik sebab masyarakat memilih parpol, sehingga parpol memiliki bargaining yang kuat, tidak sekadar menjadi alat bagi caleg untuk terpilih di legislatif. Dari sisi kelemahan, sistem proporsional tertutup membuat para anggota legislatif tidak memiliki ikatan yang kuat dengan pemilih, karena yang dipilih oleh masyarakat hanya partai bukan individu, sehingga anggota legislatif (aleg) yang terpilih tidak memiliki ikatan yang kuat dengan pemilih, aleg tidak punya tanggung jawab yang kuat atau beban untuk menjalankan aspirasi dari masyarakat, karena aleg merasa yang menentukan dirinya adalah partai, bukan pemilih. Sementara dalam sistem proporsional terbuka kelebihannya karena sistem ini melahirkan ikatan yang kuat antara anggota legislatif dengan pemilih di mana pemilih bisa mengetahui secara langsung figur yang dipilih, tidak memilih kucing dalam karung, pemilih akan tahu kepada siapa ia harus menagih kelak bila ia merasa aspirasinya tidak diperjuangkan di legislatif, sebaliknya anggota legislatif juga merasa punya beban untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat minimal dari dapil yang diwakilinya karena mereka telah berjanji di hadapan pemilih saat kampanye.

Adapun kelemahan sistem proporsional terbuka karena untuk menjadi pemenang dalam sistem ini maka butuh cost politik yang tinggi, siapa yang paling kuat secara modal maka dia berpeluang besar untuk menang, akibatnya caleg yang punya integritas kuat namun minim modal seringkali tersisih. Proporsional terbuka juga dinilai menyuburkan praktik money politic, ini biasa dilakukan oleh caleg yang miskin integritas, mereka tidak segan melakukan praktik politik amplop untuk meraup suara. Penyebab lahirnya sistem proporsional terbuka karena demokrasi pasca reformasi menghendaki anggota legislatif untuk benar-benar merepresentasikan rakyat, tidak berjarak dengan rakyat, karena anggota legislatif merupakan wakil rakyat di parlemen, sehingga secara ideal mereka harus benar-benar mewakili rakyat yang diwakilinya, bukan lebih mengabdi pada kepentingan partai. Semua ini merupakan bagian dari semangat reformasi yang menginginkan transparansi.

Semestinya perdebatan kita bukan tentang apakah sistem pemilu memakai proporsional terbuka atau tertutup, karena baik terbuka dan tertutup keduanya memiliki kelemahan. Seharusnya yang perlu dibenahi adalah kualitas regulasi kepemiluan, Apa saja itu? Pertama, memastikan bahwa elemen-elemen yang seharusnya melakukan pendidikan politik benar-benar berfungsi melakukan pendidikan politik, dalam konsep demokrasi ada beberapa elemen yang semestinya melakukan pendidikan politik, yakni penyelenggara pemilu, kelompok civil society khususnya yang memiliki perhatian terhadap demokrasi dan kepemiluan, dan partai politik. Pendidikan politik bertujuan melahirkan pemilu berkualitas, bila pendidikan politik berlangsung dengan baik, maka secara otomatis pemilih akan memilih bukan lagi berdasarkan amplop tapi berdasarkan gagasan, berdasarkan rekam jejak dari kandidat. Patut diakui selama ini pendidikan politik kepada pemilih tidak berjalan dengan baik, hanya menyelenggara pemilu dan sebagian kelompok civil society yang konsen pada demokrasi dan kepemiluan yang melakukannya.

Poin kedua yang perlu dibenahi adalah integritas para caleg, caleg semestinya memiliki integritas yang kuat, untuk mewujudkan hal itu, semua partai harus menetapkan standar integritas yang tinggi dalam perekrutan caleg, integritas sangat mempengaruhi situasi seseorang saat terjun ke lapangan. Bagi caleg yang memiliki integritas yang kuat, maka sangat kecil peluangnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pemilu, tapi bagi caleg yang sama sekali tidak ada integritas politiknya, maka dari awal akan berpikir untuk menggunakan segala macam cara agar menang, walaupun cara itu melanggar aturan pemilu, salah satunya money politic.

Butuh kerja kolektif untuk mewujudkan pemilu berkualitas, hanya pemilu berkualitas yang mampu berkontribusi pada perbaikan nasib rakyat Indonesia. Idealnya semua pihak perlu menyadari hal ini, pemilu menggunakan anggaran jumbo, jangan sampai anggaran besar tersebut terbuang sia-sia hanya untuk membiayai pemilu rutinitas tapi minim kualitas.

Penulis: Zaenal Abidin Riam
Direktur Komunikasi Publik PUSKAPI (Pusat Kajian Pemilu Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini